Rabu, 27 April 2016

LOYALITAS HANYA UNTUK ISLAM… BUKAN TANAH AIR!

Maktab Al Himmah

Daulah Islamiyyah

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam tercurahkan kepada Rosulullah, keluarga dan sahabatnya serta yang loyal kepadanya. Dan seterusnya:

Sesungguhnya termasuk yang paling berbahaya yang diwariskan oleh agresi pemikiran salibis modern terhadap muslimin adalah penanaman pemahaman-pemahaman yang rusak dalam jiwa mereka -di saat mereka lalai-, yang menghancurkan agama seorang hamba dari akarnya dan menghancurkan masyarakat muslim serta mengancam keberadaan Umat Islam! Dan di antara pemahaman keji yang ditanamkan di jiwa sebagian kaum muslimin itu adalah NASIONALISME.

DEFINISI NASIONALISME DAN ASAL HISTORISNYA

Nasionalisme secara bahasa berasal dari kata Wathan. Dan kata Wathan adalah rumah yang kamu tinggali. Dan dia berarti tempat tinggal manusia dan berlindungnya. Pluralnya adalah Authan.

Adapun secara istilah, nasionalisme adalah istilah yang muncul di Eropa saat terjadinya pergeseran pemikiran dan politik yang mengakibatkan kembalinya struktural masyarakat Eropa, dari masyarakat yang bahu-membahu di atas landasan sekte keagamaan (protestan, katholik, Ortodoks dan Armen) berpindah ke masyarakat yang bahu-membahu di atas landasan kebangsaan dan nasionalisme. Maka pada saat itulah lahir negara-negara nasionalisme yang diadopsi dari sekulerisme (Laadiniyyah) sebagai jalan hidup dan bentuk reaksi terhadap otoriter gereja, rusaknya para paus, rongrongan penguasa atas nama agama dan konflik antar-sekte yang menumpahkan banyak jiwa.

Nasionelisme -sebagai ideologi dan manhaj telah menemukan jalannya untuk diterapkan di Eropa- yang bersandar pada pemikiran (tanah air). Tanah air adalah negeri dimana bangsa manusia hidup di dalamnya, bersepakat untuk memberikan loyalitas untuk tanah air dan kedaulatan undang-undang postif (baca negatif) dan taat kepada penguasa.

Berdasarkan teori tanah air, maka setiap warga tanah air memiliki hak-hak yang berbeda dengan warga asing. Sebaliknya, warga tersebut membela sistem nasionalisme, ia loyal kepada yang diloyali sistem itu dan memusuhi yang dimusuhinya.

Inilah pokok ajaran nasionalisme yang dimasukkan oleh sekuler barat ke negeri-negeri Islam dan di”paksakan” oleh salibis kepada muslimin beberapa dekade lalu, setelah ia menjajah negeri kaum muslimin secara militer dan memaksa penduduknya untuk menganut prinsip yang menjadikan loyalitas seorang muslim diperuntukkan kepada negaranya bukan kepada agamanya, sehingga melemahlah jatidiri muslimin dan hancurlah kekuatannya dan pada kondisi itulah mudah bagi mereka untuk menguasainya.

Maka menyebarlah wabah nasionalisme yang busuk di tengah-tengah putera-putera Islam. Dan kaum muslimin -mayoritas mereka- hidup dalam masa yang panjang loyal kepada orang yang se-tanah air dan memusuhi orang asing (meskipun satu agama). Lalu muncullah istilah-istilah busuk yang merupakan pecahan dari nasionalisme seperti (Allah, Tanah Air Pemimpin), (Agama milik Allah dan Tanah Air milik semua), (Persatuan Tanah Air), (Utamakan Tanah Air), (Perlawanan Nasionalisme) dan lain-lain.

NASIONALISME ADALAH ANAK DARI KEBANGSAAN

Dari titik tolak awal, jika nasionalisme loyalitas di atas tanah air, maka kebangsaan (kesukuan) adalah loyalitas di atas bangsa (suku).

Kebangsaan berasa dari kata bangsa. Bangsa seseorang adalah kelompoknya dan keluarganya. Adapun kebangsaan secara istilah adalah ikatan masyarakat yang mengikat antara berbagai kelompok manusia yang memiliki kesamaan dalam karakter dan sifat seperti bahasa, warna kulit, etnis, sejarah dan lain-lain.

Kebangsaan adalah salah satu manhaj jahiliyah yang menyimpang yang menyerang negeri-negeri muslim setelah runtuhnya Khilafah dan hilangnya Negara Islam, di mana tumbuhnya pemahaman kebangsaan itu merupakan di antara faktor paling terdepan yang menghancurkan Aqidah Islam. Dan ia menjadikan keberafiliasian kepada bangsa (Arab dan Khalij/Teluk, Afrika, Turki dan lain-lain) sebagai dasar untuk berkumpul, loyal dan membantu! Dan dari rahim kebangsaan rusak ini lahirlah nasionalisme busuk. Prinsip keduanya sama dan statusnya sama.

HUKUM NASIONALISME DALAM ISLAM

Menurut apa yang dipaparkan tadi, bahwasanya nasionalisme itu berarti meninggalkan aqidah wala dan bara Islam dan menganut aqidah wala dan bara nasionalisme, maka nasionalisme adalah KUFUR AKBAR yang mengeluarkan dari Millah (Islam). Siapa saja yang menganut paham ini atau mendakwahkannya atau bekerja dalam rangka mengukuhkannya maka dia adalah MURTAD dari Dienul Islam. Poin selanjutnya akan menjelaskan sisi tersebut.

KERUSAKAN-KERUSAKAN AGAMA NASIONALISME

Pertama, nasionalisme menyekutukan Allah Ta’ala. Nasionalisme adalah dien bathil dan manhaj jahiliyah yang mengajak untuk menjadikan tanah air sebagai berhala dan thaghut yang diibadati selain Allah. Ia menuntut penganutnya untuk bekerja untuknya, berkorban dan berjuang di jalannya, membenci siapa saja yang berada di luar teritorinya meskipun orang itu adalah wali Allah. Memberikan loyalitas kepada siapa saja yang berada di dalam terirotinya meski dia itu tergolong orang yang paling kafir dan paling musyrik. Dengan begitu, nasionalisme menjadi tandingan yang diibadati selain Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan di antara manusia ada yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya seperti cinta kepada Allah.” [Al Baqarah 165]

Kedua, nasionalisme itu menggugurkan Aqidah Al Wala wal Bara. Yang demikian itu dikarenakan prinsif Al Wal wal Bara di dalam Islam itu adalah berdiri di atas sikap pemisahan dan pemilahan antara kaum muslimin dengan selain mereka berdasarkan Dien. Sebagaimana firman Allah:

“Sesungguhnya (wali) penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” [Al Maidah 55]

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” [Al Maidah 57]

Dan adapun orang-orang nasionalis, maka loyalitas itu bagi mereka adalah berdiri di atas prinsif ketanah-airan yang dibatasi wilayah tertentu. Dan ini mengharuskan untuk menghapus sekat-sekat yang telah Allah jadikan sebagai sebab syar’i untuk melakukan pemisahan dengan orang-orang kafir. Sedangkan prinsif ini adalah benturan yang jelas terhadap nash-nash syar’i.

Allah Ta’ala berfirman:

“Berikan kabar gembira kepada orang-orang munafiq bahwasanya bagi mereka adzab yang pedih. Yaitu orang-orang yang menjadikan orang-orqang kafir sebagai teman (pemimpin, kepercayaan dan teman sejati) selain orang beriman.” [An Nisaa’ 138-139]

Ketiga, nasionalisme itu menggugurkan hukum-hukum (status syar’i) negeri dan hijrah, yang demikian itu karena ia menjadikan ikatan tanah air di atas ikatan agama yang mengharuskan bercampurnya status orang. Di antara hal-hal yang telah ditetapkan oleh Syari’at ini adalah bahwa Negara Kafir yang ditinggikan di dalamnya hukum-hukum kafir adalah berbeda dengan Negara Islam yaitu ditinggikan di dalamnya hukum-hukum Islam dan berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Dan bagi masing-masing dari kedua negeri itu ada hukumnya yang membedakan, di antaranya wajibnya hijrah dari Negara Kafir ke Negara Islam. Adapun di agama nasionalisme maka tidak ada ruang dalam masalah ini sama sekali, karena warga negara tinggal di negaranya, bahkan membelanya meski negaranya kafir.

Keempat, nasionalisme itu menghapus perbedaan antara muslim dan kafir, sehingga bercampurlah antara sematan iman dan kekafiran, karena penjadian ketanah-airan sebagai dasar di dalam memperlakuan manusia adalah menghilangkan segala sekat yang dibangun di atas Dien, yang telah Allah jadikan sebab syar’i untuk membedakan manusia di dunia dan di akhirat. Sedangkan Nasionalisme itu meletakkan orang mu-min, kafir, orang baik dan fajir dalam satu level. Ini merupakan bentuk pendustaan yang nyata terhadap nash-nash yang QATH’IY, yang dia antaranya firman Allah Ta’ala::

“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau adakah kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” [Al Qalam 35-36]

Dan di antaranya juga:

“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” [Shaad 28]

Kelima, nasionalisme itu menggugurkan Jihad Thalab (Jihad Ofensive/Jihad Ekpansi) : dan itu adalah salah satu jihad fi sabilillah yaitu memerangi orang-orang kafir di negeri mereka untuk meninggikan kalimat Allah. Adapun bagi orang-orang nasionalis, maka jihad tidak lain adalah membela batas-batas negara melawan agresi asing dan tujuan tertinggi mereka adalah menjaga persatuan tanah air. Adapun melampaui batas-batas teritori negara untuk menyerang orang-orang kafir sekitar, maka hal tersebut dianggap sebagai sikap aniaya dan penggangguan terhadap “Keamanan Nasional” negara tetangga dan memperburuk hubungan bilateral serta intervensi dalam urusan dalam negeri orang lain.

Ini adalah pengguguran yang jelas terhadap kewajiban jihad dan penolakkan terhadap hukum yang telah jelas dengan pasti dalam agama ini di dalam memerangi orang-orang kafir di mana saja mereka berada hingga hanya Allah semata yang diibadati dan kemusyrikan lenyap dari muka bumi serta hukum Allah ditegakkan.

Keenam, di dalam nasionalisme ada perpecahan dan perselisihan, dimana ia memecah-belah kaum muslimin dan menjadikan mereka memiliki identitas masing-masing menurut bangsa mereka. Setiap mereka fanatik terhadap tanah air, sejarah dan pusakanya. Ia memisahkan antara muslim Arab dan saudaranya dari muslim Ajam. Bahkan memecah-belah antara Arab itu sendiri. Seorang Irak berbeda dengan Suriah, Mesir dan lain-lain. Begitu juga ia membedakan antara muslim Ajam antara Kurdi, Turki dan lain-lain. Hal itu menyelisihi perintah Allah yang memerintahkan untuk bersatu, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala

“Berpeganglah (bersatu) kalian dengan tali Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” [Ali ‘Imran 103]

Dalam perintah tersebut adalah sentimen persaudaraan agama yang Allah sifati dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya hanya orang-orang beriman yang bersaudara.” [Al Hujurot 10]

Dan gambaran itu jelas tercermin pada sahabat radhiyallahu ‘anhu. Hamzah Al-Qurasyi, Bilal Al-Habasyi dan Shuhaib Ar-Rumi dipersatukan oleh Islam BUKAN tanah air.

Ketujuh, nasionalisme merupakan bagian dari seruan (klaim) jahiliyah. Islam memerangi klaim-klaim jahiliyah baik itu yang berkaitan dengan warna, jenis, suku dan tanah air. Dan tidak diragukan lagi bahwa paham kebangsaan dan nasionalisme itu seruan kepada selain Islam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

“Setiap orang yang keluar dari seruan Islam dan Al-Qur’an berupa nasab, negeri, jenis, sekte dan metode adalah bagian dari seruan jahiliyyah.” [Majmu’ul Fatawa]

Dan tidak diragukan pula bahwa para pengusung paham kebangsaan dan nasionalisme itu mengajak kepada kebangsaan, fanatisme nasionalisme jahiliyah, dan mereka itu berbangga-banggan dengan kearaban dan tanah air, sementara Islam berlepas diri dari mereka dan dari ideologi mereka yang kafir itu.



SYUBHAT DAN BANTAHAN

Selalu saja orang-orang nasionalis sesumbar kalau cinta tanah air itu bagian dari keimanan! Mereka mendendangkan bahwa kematian di jalan membela tanah air adalah syahid! Dan lain-lain dari syubhat yang mereka lontarkan.

Dan untuk menjawab itu kami katakan :

Adapun perkataan “Cinta Tanah Air Bagian dari Iman” maka ia bukan hadits dan bukan atsar. Dan ia itu batil secara sanad, sebagaimana isinya-pun batil! Ia adalah perkataan yang bertentangan dengan Syari’at karena ia telah menjadikan cinta tanah air itu menjadi salah satu unsur iman dan levelnya. Ini merupakan kelancangan terhadap Syari’at Allah Ta’ala. Bagaiamana bisa cinta tanah air itu disebut bagian dari iman jika tanah airnya merupakan Negara Kafir? Apakah seorang muslim mencintai kekafiran??

Adapun perkataan “Mati Membela Tanah Air adalah Syahid” maka ini adalah dusta yang jelas. Karena, jika kita menerima hal itu, maka orang-orang kafir yang membela tanah air mereka juga syahid. Lalu apa bedanya kita dengan mereka!

Sesungguhnya orang yang syahid itu adalah orang yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah sebagaimana hadits shahih menuturkan demikian. Adapun perkataan “Barangsiapa terbunuh mempertahankan tanahnya maka ia syahid” adalah tambahan (ziyadah) terhadap hadits (Siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya maka ia syahid, siapa yang terbunuh mempertahankan darahnya maka ia syahid, siapa yang terbunuh mempertahankan Dien-nya maka ia syahid dan siapa yang terbunuh mempertahankan keluarganya maka ia syahid) yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan At-Timidzi dengan sanad yang shahih. Dan kami tidak menemukan tambahan tersebut di kitab-kitab hadits!

Jika saja itu benar! Maka bumi yang dibela oleh seorang muslim hingga ia terbunuh sebagai syahid itu adalah Negara Islam yang ditegakkan Syari’at Islam di dalamnya. Maka mujahid membelanya dan memerangi siapa saja yang menyerangnya untuk mempertahankan hukum-hukum Islam. Bukan semata-mata mempertahankan tanahnya, dimana terkadang bisa saja suatu saat ia menjadi Negara Kafir sebagaimana yang ada pada banyak negara pada saat ini!



PERINGATAN DAN NASEHAT

Kami tidak melewatkan untuk memberikan nasehat, dan kami tidak memungkiri bahwa seseorang itu mencintai tempat kelahirannya dan tempat ia tumbuh besar di dalamnya. ini adalah cinta yang bersifat naluri yang tidak diingkari kecuali oleh yang telah menyimpang fitrahnya. Allah ‘Azza wa Jalla telah mengkhithabi Nabi-Nya shallallahu ’alaihi wasallam dengan firman-Nya

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” [Al Baqarah 144]

Adapun firman-Nya (Maka Kami akan palingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai) yaitu bermakna Kami palingkan dari Baitul Maqdis ke kiblat (yang kamu sukai) : Kamu cintai [Tafsir Ath-Thabari] yaitu Mekkah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wallam bersabda “Alangkah indah negeri, engkau (Mekkah) aku cintai, jika saja kaumku tidak mengusirku darimu, tentu aku tidak tinggal di tempat selainmu” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi ia berkata : hadits hasan shahih gharib] dan ini adalah pernyataan darinya shallallahu ‘alaihi wasallam akan cintanya terhadap tempat kelahirannya dan tempat ia tumbuh.

Kecintaan semacam ini sebagaimana bentuk-bentuk kecintaan lainnya yang bersifat naluri adalah tidak dilarang dan tidak juga dibenci, akan tetapi dengan syarat tidak melampaui batasnya dan tidak berseberangan dengan perintah dan larangan Allah. Allah Ta’ala berfirman:

“Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya‘. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” [At Taubah 24]

Kecintaan seseorang kepada dirinya, keluarga, suku, harta, tanah air adalah cinta yang wajar yang tidak diharamkan oleh Syari’at ini, selama tidak melampaui batasnya. Sedangkan pelampauan batasnya dalam hal ini adalah pengedepanan kecintaan macam-macam itu di atas kecintaan terhadap Allah, Rasul-Nya dan jihad fi sabilillah.

Di antaranya bahwa seorang muslim itu diperintahkan untuk hijrah dari negeri yang ia tidak mampu untuk menegakkan agamanya di dalam negeri tersebut, meski negeri itu tempat kelahirannya dan ia cintai. Sungguh sebaik-baik manusia (shallallahu ‘alaihi wasallam) dan sebaik-baik generasi (Sahabat) telah melaksanakan perintah Allah ketika mereka hijrah meninggalkan negeri yang mereka cinta (Mekkah), harta yang mereka kumpulkan, keluarga dan kerabat menuju negeri yang baru lagi asing bagi mereka (Madinah), di mana mereka tidak memiliki famil di sana dan juga tidak memiliki harta. Mengapa? Karena ia adalah negeri Islam.

Pada hari ini ketika Allah memberikan karunia kepada kaum muslimin dengan dideklarasikannya Khilafah Islamiyyah di Irak dan Suriah serta di wilayah lainnya, maka negeri-negeri Khilafah menjadi negeri hijrah dan jihad. Wajib bagi seluruh muslim yang bermukim di negara-negara kafir (seperti negara Arab pada hari ini) untuk berhijrah ke Daulah Islamiyyah dan meninggalkan negeri-negeri mereka. Dan tidak berguna lagi beralasan dengan kondisi lemah di mana Allah Ta’ala berfirman tentang kedustaan mereka

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dari bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya ialah Jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. [An Nisa’ 97]

Ini adalah ancaman keras terhadap orang yang lebih memilih mencintai tanah airnya dan meninggalkan kewajiban hijrah. Maka, bagaimana dengan orang yang meninggalkan Negeri Islam ke Negeri Kafir?!! Sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang yang mengaku Islam. Mereka yang meninggalkan daerah-daerah yang dikuasai Daulah Islamiyyah dan mengungsi ke daerah-daerah di bawah kendali rafidhah, sekuleris, salibis. Maka apa yang akan mereka katakan kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada hari kiamat kelak?!

Kami memohon kepada Allah Ta’ala agar memberikan hidayah kepada kaum muslimin untuk meninggalkan negara kafir dan hijrah ke negeri Khilafah Islamiyyah.

Alih Bahasa : Abu Bakar Al-Qahthani

Pemuraja’ah: Abu Sulaiman Al Arkhabiliy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar